Jakarta, Suara Harapan - Tahun 2023 belum genap seminggu, namun sudah ada sejumlah kasus kekerasan di Satuan Pendidikan Berasrama dan di MTs swasta. Mulai dari kekerasan fisik bahkan juga kekerasan seksual.
Seluruh peristiwa terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama RI.
Berikut beberapa kasus yang terjadi:
- Kasus penamparan dan hukuman berdiri dengan satu kaki di salah satu MTs di Gresik (Jawa Timur)
- Kekerasan berupa pembakaran santri oleh santri lainnya di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Pasuruan (Jawa Timur)
- Dugaan kekerasan seksual oleh pemimpin Ponpes di Jember (Jawa Timur) yang dilaporkan oleh istri pelaku sendiri.
15 Siswa Ditampar Kepala Sekolah MTS di Gresik
Kepala MTs Swasta di Manyar, Gresik, berinisial AN memukul 15 siswinya hingga empat di antaranya pingsan. Para siswa yang pingsan diduga karena kelelahan setelah ditampar masih dihukum berdiri dengan satu kaki, padahal para siswi tersebut belum sempat sarapan.
Pemukulan itu dilakukan AN gara-gara 15 siswi tersebut jajan di luar sekolah, karena ada larangan tidak boleh membeli jajanan di luar kantin MTs, namun ke-15 siswi membeli makanan ke SMK di sebelah MTs yang kebetulan sedang proses pembangunan pagarnya.
“Hukuman fisik yang dilakukan kepala madrasah tersebut tidak mendidik dan sangat membahayakan keselamatan peserta didik”, ungkap Retno Listyarti, Pemerhati Anak.
Para siswi yang mengalami kekerasan tersebut kemudian mengalami trauma (ketakutan dan cemas) dan tidak berani berangkat ke madrasah lagi.
Pihak sekolah kemudian mendatangi keluarga korban dan meminta maaf. Meski pihak yayasan kemudian memecat AN dari jabatan kepala sekolah, namun sejumlah orang tua wali murid MTs yang menjadi korban pemukulan melaporkan aksi Kepala Sekolah AN kepada pihak kepolisian pada 5 Januari 2023.
Kekerasan terhadap anak jelas melanggar pasal 54 (anak wajib dilindungi selama berada di lingkungan sekolah) dan pasal 76C (kekerasan terhadap anak) dalam UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Santri Ponpes Pasuruan Dibakar Seniornya
Kasus santri di Pasuruan, Jawa Timur berinisal INF (13 tahun) yang dibakar hidup-hidup oleh MHM, seniornya karena dituduh mencuri uang di kamar pondok pesantren hingga membuat seniornya marah.
INF mendapat luka bakar ditubuh dan punggungnya. Pihak pesantren membawa INF ke RS Husada Pandaan, Pasuruan. MHM pun sudah diamankan pihak kepolisian.
Mengetahui santrinya dibakar hidup-hidup, pihak pondok pesantren di Pasuruan justru menyebut tak ada kesengajaan, dengan alasan awalnya hanya menakut-nakuti saja.
AA selaku guru pondok pesantren setempat mengatakan bahwa kabar tentang adanya kesengajaan dalam tindakan muridnya tidak benar. Kejadian tersebut kami anggap sebagai kecelakaan, tidak ada unsur kesengajaan.
Kasus santri di bakar oleh senior bukan kejadian pertama, kasus serupa terjadi tahun 2021 di salah satu Pondok Pesantren Al_Amin di kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang (Jawa Tengah).
Seorang santri berinisial AM dibakar hidup-hidup oleh seniornya diduga karena AM menolak mengumpulkan ponsel ke pelaku berinisial MIF, yang merupakan ketua keamanan di Ponpes.
Akibat kejadian tersebut korban menderita luka bakar hingga 80%. AM menjalani perawayan intensif di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. MIF kemudian diamankan pihak Kepolisian.
Menurut hasil pemeriksaan kepolisian, pelaku memiliki dendam dan telah merencanakan pembunuhan kepada korban.
Pelaku yang sudah bukan usia anak, juga diketahui melukai AM dengan cara menyiramnya dengan Petralite dan melempar korek api ke tubuh korban.
Atas perbuatannya, pelaku terancam dipidana pasal percobaan pembunuhan berencana dengan hukuman ancaman 15 tahun penjara.
Dugaan Kekerasan Seksual Terhadap Santriwati di Ponpes, Jember, Jawa Timur
Seorang istri kiai di Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, melaporkan suaminya karena dugaan pencabulan dan pelecehan seksual terhadap santriwati yang masih di bawah umur.
Menurut pihak Kepolisian, pelapor menceritakan bahwa dirinya mendapatkan pengaduan kalau Pak Kiai ini sering memasukkan santri bergantian kalau malam.
Kamar pribadi Sang Kiai berada di lantai dua pondok pesantren. Tak mudah memasuki kamar sang kiai.
Pelapor sebagai istri tidak bisa masuk ke kamar Pak Kiai, karena semua pakai ID, pakai PIN (Personal Identification Number), pakai tombol, finger print dan sebagainya, sehingga tidak masuk.
Di kamar Pak Kiai ada CCTV. Semua pakai remote. Istri Sang Kiai tidak diberi akses nomor PIN untuk masuk ke kamar itu. Tapi santri-santri yang diduga pernah dimasukkan ke kamar Pak Kiai ini tahu passsword-nya untuk bisa. Memang tembus ke santri-santrinya itu.
Istri Sang Kiai mengaku sudah mengantongi bukti-bukti dugaan perbuatan asusila sang suami.
Namun, pihak kepolisan resor Jember menyarankan kepada istri Sang Kiai agar para santriwati memberi kesaksian dengan didampingi orangtua masing-masing.
Karena kalau terduga pelaku dijerat dengan pasal perselingkuhan, ancaman hukumannya cuma sembilan bulan. Karena ini santri-santri masih di bawah umur, lebih berat lagi ancaman hukuman Undang-Undang Perlindungan Anak, 15 tahun penjara.
“Padahal dalam UU Perlindungan Anak, bersetubuh dengan anak adalah tindak pidana, ini bukan delik aduan. Bersetubuh dengan anak tidak ada dalih suka sama suka dan atau dengan persetujuan. Jadi polisi seharusnya sudah bisa bertindak sesuai kewenangannya dalam peraturan perundangan”, tegas Retno Listyarti yang merupakan Komisioner KPAI Periode 2017-2022.
Kiai yang diadukan sang istri tersebut bernama Muhammad Fahim Mawardi. Terlapor menepis laporan itu dan menyebut itu fitnah. Fahim juga membantah bahwa di ponpes yang dia asuh itu ada kamar khusus.
Dia meluruskan, ruangan itu merupakan sebuah studio, tempat para santri bikin video YouTube. Juga tempat terlapor menerima laporan dari para pengajar di Ponpesnya.
Studio itu, juga menjadi tempat ujian kenaikan jilid santri. Biasanya saat ujian, santri didampingi pengajarnya. Kalau santri perempuan ya ditemani ustazahnya.
Rekomendasi
1. Banyaknya peristiwa tindak kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan berbasis asrama sepanjang tahun 2022 dan bahkan diawal tahun 2023 ini, maka hal tersebut mengindikasi bahwa ada sistem perlindungan dan pengawasan yang lemah.
"Oleh karena itu, saya mendorong Kementerian Agama beserta stakeholder terkait di Pendidikan untuk melakukan evaluasi sistem pencegahan, pengaduan dan penanganan tindak kekerasan di satuan pendidikan demi perlindungan, kemanan dan kepentingan terbaik bagi anak-anak atau peserta didik,” tegas Retno.
2. Pembelajaran dari peristiwa penamparan 15 siswi oleh Kepala Madrasah di Jember harus menjadi momentum bagi Kementerian Agama RI untuk mendorong seluruh madrasah dan pondok pesantren menerapkan Disiplin positif.
Kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam hukum positif di Indonesia, sekalipun dalihnya adalah mendisiplinkan sebagai bagian dari mendidik.
3. Munculnya 2 kasus santri bakar santri di Rembang (Jawa Tengah) dan Pasuruan (Jawa Timur) dengan menyiram pertalite pada tubuh anak korban, maka Kementerian Agama RI perlu memastikan tidak ada pertalite dan sejenisnya di lingkungan Pondok Pesantren demi mencegah perbuatan terulang atau ditiru oleh santri lain di Ponpes yang berbeda.
“Selain itu, munculnya tindak kekerasan sesadis itu dan membahayakan nyawa anak-anak lainnya, karena bisa memicu kebakaran di lingkungan Ponpes, sehingga perlu ada SOP terkait sistem pencegahan tindak kekerasan di Ponpes”, tegas Retno.
4. Untuk kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di salah satu Ponpes di Jember, maka Polisi perlu menindaklanjuti pelaporan Istri terlapor, karena hal ini bukan deil aduan tapi pidana murni.
Karena dalam UU Perlindungan Anak, melakukan perbuatan asusila dengan anak adalah tindak pidana, dengan anak tidak ada suka sama suka dan atau atas persetujuan.
“Meskipun ada bantahan dari pelapor, namun pihak Kepolisian seharusnya tetap memproses pelaporan istri sang Kyai. Jika memang dalam penyidikan tidak ditemukan alat bukti, barulah kasus di hentikan. Kalau ditemukan bukti pendukung minimal 2, maka kasus harus dinaikan statusnya dan dilanjutkan prosesnya,” pungkas Retno.
Publish: lala